Ini Tentang Kita

Seumpama kata tak lagi bermakna, datanglah dengan hanya tersenyum, karena itu lebih baik dari pada kau membukit salju.

Laman

Kamis, 25 Maret 2010

Batu

Keras menghujam jantung berpalung,
angkuh berdiri ditepian deru ombak menari,
Kikis lah aku wahay percikan air asin,
terpa aku dengan gelombang jiwamu,

Keras hati kaku cadaskan tepian pantai,
tak menggubris sesuatu yg masuk kecela-cela sukma,
Hempas lah aku wahay rintik hujan,
kikis hingga kesombongan kuhabis,

Bukan aku diam membelah malam,
bukan pula tak menangkap pada keikhlasan rasa,
Hanya keras raga melawan conggak prinsip,
mempertahankannya saja bukan untuk satu kebajikan,

Dekap aku dengan godam besar syairmu,
jangan sadarkan aku dengan tongkat pepatah,
Agar pecah melemah sukma tak lara,
agar terlerai berai jiwa yang lalai.

Boneka

Kumal membekal dalam akal,
lentik bulu mata cantik membusik,
jemari lentik putik-putik menitik,
gincu polemik tak tertarik meringkik,

Kunina bobokan jejak pengantin,
dengan gaun putih namun tak suci,
mas kawin janji bekal kelamin berpilin,
desah basah malam pertama,

Ah...!! aku merentah tak lagi pasrah,
kau membebat erat bathin terdoktrin,
Permainkan saja aku sang boneka kumuh becawan bambu,
seperti jalangkung mengundang iblis gagahi peri,

Dua mata pisau menghujam kelam,
perisai jiwa pecah terbelah,
rindu nafsu penuh peluh,
meniduri raga bathin tak rasa,

Hiasi noktah merah ini dengan rindu,
bukan dengan nafsu kelabu diranjang bambu,
Anggunkan akad yg terikat dengan akal sehat,
bukan dengan urat-urat saraf yang kualat,

Aku boneka kayu pinus berhidung panjang,
tanpa gepeto miskin yg tak pernah kawin,
Kau peri biru bermata satu,
atau dajal bergaun bidadari yg mencengkeram mati.

Air Mata Cinta

Jatuh tergerai dikening senja, butir-butir airmata cinta permata putri legenda, dekap pengap derita dalam kubangan penuh cacing-cacing bertaring yg menggerogoti jiwa.

Perih memipih belati hati, siul petaka bocah telanjang dada diareal pemakaman masal penuh tengkorak-tengkorak, desir angin dalam kebisuan, debu menari dalam dekapan, seekor keledai dahaga namun hanya berjalan tertatih perih tak berfikir.

Air mata cinta, basahi kembang tujuh rupa dan air mawar, tanah merah bergunduk-gunduk pusara tanpa figura kamboja, gerimis miris anyir darah, sabili menghujam jantung rindu tanpa sarung, dan tanpa algojo bertopeng kelinci,

hahaha...
Tertawakan saja semua derita, hati nelangsa tak berguna, jiwa merana bersandiwara,
Lihatlah puluhan burung bngkai menatap penuh cemas, saat engkau menitikan airmata, tanda hati yang mati tanpa nisan yang pasti.

Senja 7 maret

Seperti dedaunan yg terhempas dimusim gugur, aku terbang mengikuti arah dan interval sang bayu, kala senja tinggal sepenggal, aku meniti jejak-jejak waktu yang angkuh enggan menunggu.
Aku terdiam dibali bebatuan terjal karang, buih-buih ombak membelai pantai, dan camar genit bernyanyi mengiringi kepergian hati, syairmu peraduan antara samudera dan gelombaknya, jiwaku kerumunan ikan salmon yg menanti ajal ditangan-tangan beruang.
Dekaplah aku dalam keremangan senja ini, dekaplah seperti lembayung memeluk jingga yg bermahkota, dan jika mentari undur diri, selimuti aku dengan tirai malammu yang diperelok oleh bulan sabit yg genit menggigit,
Kenanglah.... wahay jingga, kenanglah separuh kisah yang basah oleh airmata, dan jika semua telah kau rekam, putarlah dengan proyektor hati agar kerinduan jiwamu akan ragaku terobati.