Ini tentang bening dua bola matamu
dan tentang bibir kecil yang hangatkan jiwaku
Entah mengapa tentang dua hal itu
aku ingin bercerita petang ini
Mungkin barisan-barisan sajak ini sederhana
tapi kuharap mampu menyentuh keindahan-keindahanmu
Setelah siang itu kau tak lagi menjadi fatamorgana
semua dahaga kerinduanku terobati oleh dua bola mata dan bibir kecilmu
Saat ini aku mampu menatap kembali duniaku
karena matamu...
Saat ini aku mampu kembangkan senyuman
karena bibir kecilmu...
dan sungguh kurasakan kembali keindahan hari-hariku
karena saat ini kumiliki dua bola mata dan bibir kecilmu
Jumat, 23 April 2010
"Peri Kecil"
Senyum dibalik sayap berbulu rindu
mengikat erat luka mata bathin yang pilu
Kau menjelma saat dingin malam yang hitam mulai membalut kesendirian
membawa benjana tawa yang hangati sepiku
Dekapmu runtuhkan dinding hati yang beku
cairkan dinginnya keristal jiwaku
Kau padamkan emosi burung api dengan air mata kebahagiaan
dan sungguh kuyakini bahwa kau telah reinkarnasikan semua yang mati didalam hidupku.
mengikat erat luka mata bathin yang pilu
Kau menjelma saat dingin malam yang hitam mulai membalut kesendirian
membawa benjana tawa yang hangati sepiku
Dekapmu runtuhkan dinding hati yang beku
cairkan dinginnya keristal jiwaku
Kau padamkan emosi burung api dengan air mata kebahagiaan
dan sungguh kuyakini bahwa kau telah reinkarnasikan semua yang mati didalam hidupku.
FIRASAT
Akar ingkar mengganti rotan
syair anyir luka membusuk
Tatala mntari terganti rembulan
ragaku remuk punguk tercambuk
Puting susu kencang merayu
nafsu kelabu pejantan dungu
Tersekap pengap kelambu rindu
penis menegang dirahim waktu
Desahmu firasatku yang lugu
airmatamu peluhku yang rentan
Kau setubuhi derita musim salju
beranak angkara buruknya zaman
Tawamu isak tangisku kemarin
saat akhir ceritamu menusukku
Kelicikanmu akar sesalku yang berpilin
berbuah dusta bunga yang pilu.
syair anyir luka membusuk
Tatala mntari terganti rembulan
ragaku remuk punguk tercambuk
Puting susu kencang merayu
nafsu kelabu pejantan dungu
Tersekap pengap kelambu rindu
penis menegang dirahim waktu
Desahmu firasatku yang lugu
airmatamu peluhku yang rentan
Kau setubuhi derita musim salju
beranak angkara buruknya zaman
Tawamu isak tangisku kemarin
saat akhir ceritamu menusukku
Kelicikanmu akar sesalku yang berpilin
berbuah dusta bunga yang pilu.
Jumat, 02 April 2010
KEBENCIAN
Amarahmu adalah takdirku,
berwarna merah darah kebencian,
dan anyir seperti luka yang membusuk,
Ragaku adalah penampungan makimu,
maka kecuplah keheningan malam ini,dan kau jilati pekatnya,
Agar jiwamu tersadar,
bahwa akulah kebencianmu yang abadi,
Aku tak mampu taklukan emsimu,
tapi aku mampu kalahkan sadarmu,
Kau dapat menamparku dengan berangmu,
tapi kau takan mampu kalahkan rasaku,
Kau sebongkah emosi yang mendalam,
dendammu adalah karang yang karam,
Aku adalah samudera yang berang,
yang perlahan mengikis karang-karang hatimu,
Kebencianmu akanku bekukan hari-harimu,
Tapi aku memang amarahmu,
jadi bungkam hatimu, karena aku memang kebencianmu.
berwarna merah darah kebencian,
dan anyir seperti luka yang membusuk,
Ragaku adalah penampungan makimu,
maka kecuplah keheningan malam ini,dan kau jilati pekatnya,
Agar jiwamu tersadar,
bahwa akulah kebencianmu yang abadi,
Aku tak mampu taklukan emsimu,
tapi aku mampu kalahkan sadarmu,
Kau dapat menamparku dengan berangmu,
tapi kau takan mampu kalahkan rasaku,
Kau sebongkah emosi yang mendalam,
dendammu adalah karang yang karam,
Aku adalah samudera yang berang,
yang perlahan mengikis karang-karang hatimu,
Kebencianmu akanku bekukan hari-harimu,
Tapi aku memang amarahmu,
jadi bungkam hatimu, karena aku memang kebencianmu.
Sabtu, 27 Maret 2010
An-Nur (Penjaga cahaya)
Kotak hitam hati terkunci,
gelagat raga bercermin buram,
Desah membungkam suram,
lirih terpenjara sepi,
Relung berpalung renung,
mendung dibalik kerudung,
Saat langkah tersandung,
bukit khilaf menggunung,
Bersemedi dalam dzikir hati,
bertasbih cahaya dalam gelap dunia,
Jilbabkan ketulusan ilmu ikhlas,
besajadah jiwa mukena malam,
Airmata barisan doa-doa,
menadah kata sukma berbinar,
Wahay An-Nur pemilik segala cahaya,
terangi gua-gua bathin yang cadas tak terbias.
gelagat raga bercermin buram,
Desah membungkam suram,
lirih terpenjara sepi,
Relung berpalung renung,
mendung dibalik kerudung,
Saat langkah tersandung,
bukit khilaf menggunung,
Bersemedi dalam dzikir hati,
bertasbih cahaya dalam gelap dunia,
Jilbabkan ketulusan ilmu ikhlas,
besajadah jiwa mukena malam,
Airmata barisan doa-doa,
menadah kata sukma berbinar,
Wahay An-Nur pemilik segala cahaya,
terangi gua-gua bathin yang cadas tak terbias.
Hemmm...
Buka jendela hati,
nikmati hembus angin yang menyelinap disela-sela,
Kesejukan membius sukma,
raga menanti hangat kasih yang pergi,
Ditempat ini kau kurindu,
dilentiknya bulan sabit yang berpose indah,
Dikeremangan temaram,
dan dibawah bintang-gemintang yang genit berkedip,
Masih dengan raga ini aku menunggu,
dengan gulali tawa anak petani dusun,
Satu rasa dalam asa menantimu pulang,
membawa permata kasih yang cemerlang.
nikmati hembus angin yang menyelinap disela-sela,
Kesejukan membius sukma,
raga menanti hangat kasih yang pergi,
Ditempat ini kau kurindu,
dilentiknya bulan sabit yang berpose indah,
Dikeremangan temaram,
dan dibawah bintang-gemintang yang genit berkedip,
Masih dengan raga ini aku menunggu,
dengan gulali tawa anak petani dusun,
Satu rasa dalam asa menantimu pulang,
membawa permata kasih yang cemerlang.
Petapa Hati
Rembulan tak bersolek, begitupun bintang,
dua kunang-kunang bercumbu dibalik batu,
Kerlap-kerlip air hujan didahan terbias syahdu,
Kuremas kata yang membekas,
suam-suam malam dibalik makna jiwa,
Anatomi raga lunglai tak lalai,
isyarat sukma bertopeng angsa putih meniti mimpi tak henti,
Hembus lirih sang bayu menembus kardus,
petapa hati berdoa suci,
hilang cinta, hilang rasa,
namun jiwa tak mati.
dua kunang-kunang bercumbu dibalik batu,
Kerlap-kerlip air hujan didahan terbias syahdu,
Kuremas kata yang membekas,
suam-suam malam dibalik makna jiwa,
Anatomi raga lunglai tak lalai,
isyarat sukma bertopeng angsa putih meniti mimpi tak henti,
Hembus lirih sang bayu menembus kardus,
petapa hati berdoa suci,
hilang cinta, hilang rasa,
namun jiwa tak mati.
Jumat, 26 Maret 2010
Cinta = Sakit
"Angi yang berhembus tak dapat kugenggam, walau sejuknya dapat kurasakan!"
"Begitu pun ikrarmu pada keluguan rasaku, hanya mampu kunikmati buainya, tanpa mampu kudekap kerealitaannya."
Ucap seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan api emosi yang menyala-nyala,
"Mungkin aku bisa memaafkanmu setelah luka ini tak lagi memerih, namun sungguh aku tak bisa berdiri mendampingimu, dengan ingatanku, atau dengan bayang-bayang orang lain yang meniduri ranjang rapuh hari-hari kita"
"Aku yakin kau mengerti jauh sebelum rahasiamu kupecahkan"
"Dan jauh dilubuk hatimu pun telah bersiaga dengan berisan-barisan argumen, yang membenarkan ingkarmu pada akad yg terucap."
"Sungguh aku tak ingin mendengar syair-syair alibimu, karena ak mengerti betapa kau telah menemukan cela disifatku"
Wanita paruh baya itu terus menyerang seorang laki-laki dihadapannya, tanpa memberi sedikit pun interval untuk lelaki itu melahirkan anak kata-kata,
dia terus memuntahkan semua amarahnya,dan dia terus meluapkan api emosi yang tak terpadamkan oleh badai salju sekali pun.
"Mungkin aku dapat mempertahankan marligai kisah kita, jika yang kau berikan adalah madu yang kau ambil dari kerajaan lebah ratu lain,"
"Tapi sungguh kau telah hancurkan aku, dengan menyuguhan aku madu yg kau ambil dari kerajaan lebah ratuku sendiri,"
"Aku takan mengizinkan kau untuk memohon maaf, karena telah kupotong lidahku agar tak bisa kuucap sepatah kata maaf untukmu"
Setelah wanita itu mengucapkan kata-kata terakhirnya ia pun berlalu pergi dengan sayap-sayap patahnya, dan dengan kepingan-kepingan hati,
Sedangkan lelaki itu hanya mematung dalam peluh ketakutan.
"Begitu pun ikrarmu pada keluguan rasaku, hanya mampu kunikmati buainya, tanpa mampu kudekap kerealitaannya."
Ucap seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan api emosi yang menyala-nyala,
"Mungkin aku bisa memaafkanmu setelah luka ini tak lagi memerih, namun sungguh aku tak bisa berdiri mendampingimu, dengan ingatanku, atau dengan bayang-bayang orang lain yang meniduri ranjang rapuh hari-hari kita"
"Aku yakin kau mengerti jauh sebelum rahasiamu kupecahkan"
"Dan jauh dilubuk hatimu pun telah bersiaga dengan berisan-barisan argumen, yang membenarkan ingkarmu pada akad yg terucap."
"Sungguh aku tak ingin mendengar syair-syair alibimu, karena ak mengerti betapa kau telah menemukan cela disifatku"
Wanita paruh baya itu terus menyerang seorang laki-laki dihadapannya, tanpa memberi sedikit pun interval untuk lelaki itu melahirkan anak kata-kata,
dia terus memuntahkan semua amarahnya,dan dia terus meluapkan api emosi yang tak terpadamkan oleh badai salju sekali pun.
"Mungkin aku dapat mempertahankan marligai kisah kita, jika yang kau berikan adalah madu yang kau ambil dari kerajaan lebah ratu lain,"
"Tapi sungguh kau telah hancurkan aku, dengan menyuguhan aku madu yg kau ambil dari kerajaan lebah ratuku sendiri,"
"Aku takan mengizinkan kau untuk memohon maaf, karena telah kupotong lidahku agar tak bisa kuucap sepatah kata maaf untukmu"
Setelah wanita itu mengucapkan kata-kata terakhirnya ia pun berlalu pergi dengan sayap-sayap patahnya, dan dengan kepingan-kepingan hati,
Sedangkan lelaki itu hanya mematung dalam peluh ketakutan.
Cinta = Sakit
"Angi yang berhembus tak dapat kugenggam, walau sejuknya dapat kurasakan!"
"Begitu pun ikrarmu pada keluguan rasaku, hanya mampu kunikmati buainya, tanpa mampu kudekap kerealitaannya."
Ucap seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan api emosi yang menyala-nyala,
"Mungkin aku bisa memaafkanmu setelah luka ini tak lagi memerih, namun sungguh aku tak bisa berdiri mendampingimu, dengan ingatanku, atau dengan bayang-bayang orang lain yang meniduri ranjang rapuh hari-hari kita"
"Aku yakin kau mengerti jauh sebelum rahasiamu kupecahkan"
"Dan jauh dilubuk hatimu pun telah bersiaga dengan berisan-barisan argumen, yang membenarkan ingkarmu pada akad yg terucap."
"Sungguh aku tak ingin mendengar syair-syair alibimu, karena ak mengerti betapa kau telah menemukan cela disifatku"
Wanita paruh baya itu terus menyerang seorang laki-laki dihadapannya, tanpa memberi sedikit pun interval untuk lelaki itu melahirkan anak kata-kata,
dia terus memuntahkan semua amarahnya,dan dia terus meluapkan api emosi yang tak terpadamkan oleh badai salju sekali pun.
"Mungkin aku dapat mempertahankan marligai kisah kita, jika yang kau berikan adalah madu yang kau ambil dari kerajaan lebah ratu lain,"
"Tapi sungguh kau telah hancurkan aku, dengan menyuguhan aku madu yg kau ambil dari kerajaan lebah ratuku sendiri,"
"Aku takan mengizinkan kau untuk memohon maaf, karena telah kupotong lidahku agar tak bisa kuucap sepatah kata maaf untukmu"
Setelah wanita itu mengucapkan kata-kata terakhirnya ia pun berlalu pergi dengan sayap-sayap patahnya, dan dengan kepingan-kepingan hati,
Sedangkan lelaki itu hanya mematung dalam peluh ketakutan.
"Begitu pun ikrarmu pada keluguan rasaku, hanya mampu kunikmati buainya, tanpa mampu kudekap kerealitaannya."
Ucap seorang wanita paruh baya yang berdiri dengan api emosi yang menyala-nyala,
"Mungkin aku bisa memaafkanmu setelah luka ini tak lagi memerih, namun sungguh aku tak bisa berdiri mendampingimu, dengan ingatanku, atau dengan bayang-bayang orang lain yang meniduri ranjang rapuh hari-hari kita"
"Aku yakin kau mengerti jauh sebelum rahasiamu kupecahkan"
"Dan jauh dilubuk hatimu pun telah bersiaga dengan berisan-barisan argumen, yang membenarkan ingkarmu pada akad yg terucap."
"Sungguh aku tak ingin mendengar syair-syair alibimu, karena ak mengerti betapa kau telah menemukan cela disifatku"
Wanita paruh baya itu terus menyerang seorang laki-laki dihadapannya, tanpa memberi sedikit pun interval untuk lelaki itu melahirkan anak kata-kata,
dia terus memuntahkan semua amarahnya,dan dia terus meluapkan api emosi yang tak terpadamkan oleh badai salju sekali pun.
"Mungkin aku dapat mempertahankan marligai kisah kita, jika yang kau berikan adalah madu yang kau ambil dari kerajaan lebah ratu lain,"
"Tapi sungguh kau telah hancurkan aku, dengan menyuguhan aku madu yg kau ambil dari kerajaan lebah ratuku sendiri,"
"Aku takan mengizinkan kau untuk memohon maaf, karena telah kupotong lidahku agar tak bisa kuucap sepatah kata maaf untukmu"
Setelah wanita itu mengucapkan kata-kata terakhirnya ia pun berlalu pergi dengan sayap-sayap patahnya, dan dengan kepingan-kepingan hati,
Sedangkan lelaki itu hanya mematung dalam peluh ketakutan.
Brrrrrr....!!!
Belah lah kerinduan malan ini,
dengan belatu kedewasaan yang tajam terasah,
Kupas kuli-kulit tipis kesunyian,
agar keremangan temaram tak kelam,
Sadari rahasia yang menganga,
memejamkan mata begitu sulit melilit,
Aroma kemuning yang bebas dari kuncup,
akan mengilhami atmosfir tanpa akhir,
Biarkan rembulan menutup diri,
kegelapannya takan mempengaruhi kekhusuan,
Masuki maknanya lebih dalam,
agar kau tenggelam oleh indahnya kesendirian,
Paku-paku tak berpalu menunggu,
kedatanganmu untuk sekedar menancapkan rindu,
Duri sembilu diluka yang membiru,
semoga masih cairkan segumpal daging yang beku,
Tersadar lah dari lamunan,
berjalan lah mengikuti jejak-jejak hatimu,
agar pedang pendirian tak lagi goyah.
dengan belatu kedewasaan yang tajam terasah,
Kupas kuli-kulit tipis kesunyian,
agar keremangan temaram tak kelam,
Sadari rahasia yang menganga,
memejamkan mata begitu sulit melilit,
Aroma kemuning yang bebas dari kuncup,
akan mengilhami atmosfir tanpa akhir,
Biarkan rembulan menutup diri,
kegelapannya takan mempengaruhi kekhusuan,
Masuki maknanya lebih dalam,
agar kau tenggelam oleh indahnya kesendirian,
Paku-paku tak berpalu menunggu,
kedatanganmu untuk sekedar menancapkan rindu,
Duri sembilu diluka yang membiru,
semoga masih cairkan segumpal daging yang beku,
Tersadar lah dari lamunan,
berjalan lah mengikuti jejak-jejak hatimu,
agar pedang pendirian tak lagi goyah.
Brrrrrr....!!!
Belah lah kerinduan malan ini,
dengan belatu kedewasaan yang tajam terasah,
Kupas kuli-kulit tipis kesunyian,
agar keremangan temaram tak kelam,
Sadari rahasia yang menganga,
memejamkan mata begitu sulit melilit,
Aroma kemuning yang bebas dari kuncup,
akan mengilhami atmosfir tanpa akhir,
Biarkan rembulan menutup diri,
kegelapannya takan mempengaruhi kekhusuan,
Masuki maknanya lebih dalam,
agar kau tenggelam oleh indahnya kesendirian,
Paku-paku tak berpalu menunggu,
kedatanganmu untuk sekedar menancapkan rindu,
Duri sembilu diluka yang membiru,
semoga masih cairkan segumpal daging yang beku,
Tersadar lah dari lamunan,
berjalan lah mengikuti jejak-jejak hatimu,
agar pedang pendirian tak lagi goyah.
dengan belatu kedewasaan yang tajam terasah,
Kupas kuli-kulit tipis kesunyian,
agar keremangan temaram tak kelam,
Sadari rahasia yang menganga,
memejamkan mata begitu sulit melilit,
Aroma kemuning yang bebas dari kuncup,
akan mengilhami atmosfir tanpa akhir,
Biarkan rembulan menutup diri,
kegelapannya takan mempengaruhi kekhusuan,
Masuki maknanya lebih dalam,
agar kau tenggelam oleh indahnya kesendirian,
Paku-paku tak berpalu menunggu,
kedatanganmu untuk sekedar menancapkan rindu,
Duri sembilu diluka yang membiru,
semoga masih cairkan segumpal daging yang beku,
Tersadar lah dari lamunan,
berjalan lah mengikuti jejak-jejak hatimu,
agar pedang pendirian tak lagi goyah.
Hujan Semalam
Dingin membalut setiap jengkal keasendirian,
terasa ngilu luka yg membekas,
Rinai hujan tengah malam,
membius dalam dengus,
desas-desus usus pada kasus fitnah praduga mengerus hangus,
Malam detik-detik dini hari,
diantara lagu sendu sang jantan memutar lagu pagi,
Awan perawan berkuda hitam beludru,
berarak merak ternak mimpi membiak,
Hujan semalam suntuk mengutuk,
kantuk menekuk lekuk-lekuk tertekuk busuk,
Embun tak berguna merana,
rintik-rintik menitik putik,
ilalang tergelitik kabut polemik,
antara obsesi dan cinta terkeritik.
Surya malas terbangun pagi,
aktivitas yang mendulang tanpa henti,
Namun setianya terkagumi hari,
harga diri menghangatkan bumi.
terasa ngilu luka yg membekas,
Rinai hujan tengah malam,
membius dalam dengus,
desas-desus usus pada kasus fitnah praduga mengerus hangus,
Malam detik-detik dini hari,
diantara lagu sendu sang jantan memutar lagu pagi,
Awan perawan berkuda hitam beludru,
berarak merak ternak mimpi membiak,
Hujan semalam suntuk mengutuk,
kantuk menekuk lekuk-lekuk tertekuk busuk,
Embun tak berguna merana,
rintik-rintik menitik putik,
ilalang tergelitik kabut polemik,
antara obsesi dan cinta terkeritik.
Surya malas terbangun pagi,
aktivitas yang mendulang tanpa henti,
Namun setianya terkagumi hari,
harga diri menghangatkan bumi.
Kamis, 25 Maret 2010
Batu
Keras menghujam jantung berpalung,
angkuh berdiri ditepian deru ombak menari,
Kikis lah aku wahay percikan air asin,
terpa aku dengan gelombang jiwamu,
Keras hati kaku cadaskan tepian pantai,
tak menggubris sesuatu yg masuk kecela-cela sukma,
Hempas lah aku wahay rintik hujan,
kikis hingga kesombongan kuhabis,
Bukan aku diam membelah malam,
bukan pula tak menangkap pada keikhlasan rasa,
Hanya keras raga melawan conggak prinsip,
mempertahankannya saja bukan untuk satu kebajikan,
Dekap aku dengan godam besar syairmu,
jangan sadarkan aku dengan tongkat pepatah,
Agar pecah melemah sukma tak lara,
agar terlerai berai jiwa yang lalai.
angkuh berdiri ditepian deru ombak menari,
Kikis lah aku wahay percikan air asin,
terpa aku dengan gelombang jiwamu,
Keras hati kaku cadaskan tepian pantai,
tak menggubris sesuatu yg masuk kecela-cela sukma,
Hempas lah aku wahay rintik hujan,
kikis hingga kesombongan kuhabis,
Bukan aku diam membelah malam,
bukan pula tak menangkap pada keikhlasan rasa,
Hanya keras raga melawan conggak prinsip,
mempertahankannya saja bukan untuk satu kebajikan,
Dekap aku dengan godam besar syairmu,
jangan sadarkan aku dengan tongkat pepatah,
Agar pecah melemah sukma tak lara,
agar terlerai berai jiwa yang lalai.
Boneka
Kumal membekal dalam akal,
lentik bulu mata cantik membusik,
jemari lentik putik-putik menitik,
gincu polemik tak tertarik meringkik,
Kunina bobokan jejak pengantin,
dengan gaun putih namun tak suci,
mas kawin janji bekal kelamin berpilin,
desah basah malam pertama,
Ah...!! aku merentah tak lagi pasrah,
kau membebat erat bathin terdoktrin,
Permainkan saja aku sang boneka kumuh becawan bambu,
seperti jalangkung mengundang iblis gagahi peri,
Dua mata pisau menghujam kelam,
perisai jiwa pecah terbelah,
rindu nafsu penuh peluh,
meniduri raga bathin tak rasa,
Hiasi noktah merah ini dengan rindu,
bukan dengan nafsu kelabu diranjang bambu,
Anggunkan akad yg terikat dengan akal sehat,
bukan dengan urat-urat saraf yang kualat,
Aku boneka kayu pinus berhidung panjang,
tanpa gepeto miskin yg tak pernah kawin,
Kau peri biru bermata satu,
atau dajal bergaun bidadari yg mencengkeram mati.
lentik bulu mata cantik membusik,
jemari lentik putik-putik menitik,
gincu polemik tak tertarik meringkik,
Kunina bobokan jejak pengantin,
dengan gaun putih namun tak suci,
mas kawin janji bekal kelamin berpilin,
desah basah malam pertama,
Ah...!! aku merentah tak lagi pasrah,
kau membebat erat bathin terdoktrin,
Permainkan saja aku sang boneka kumuh becawan bambu,
seperti jalangkung mengundang iblis gagahi peri,
Dua mata pisau menghujam kelam,
perisai jiwa pecah terbelah,
rindu nafsu penuh peluh,
meniduri raga bathin tak rasa,
Hiasi noktah merah ini dengan rindu,
bukan dengan nafsu kelabu diranjang bambu,
Anggunkan akad yg terikat dengan akal sehat,
bukan dengan urat-urat saraf yang kualat,
Aku boneka kayu pinus berhidung panjang,
tanpa gepeto miskin yg tak pernah kawin,
Kau peri biru bermata satu,
atau dajal bergaun bidadari yg mencengkeram mati.
Air Mata Cinta
Jatuh tergerai dikening senja, butir-butir airmata cinta permata putri legenda, dekap pengap derita dalam kubangan penuh cacing-cacing bertaring yg menggerogoti jiwa.
Perih memipih belati hati, siul petaka bocah telanjang dada diareal pemakaman masal penuh tengkorak-tengkorak, desir angin dalam kebisuan, debu menari dalam dekapan, seekor keledai dahaga namun hanya berjalan tertatih perih tak berfikir.
Air mata cinta, basahi kembang tujuh rupa dan air mawar, tanah merah bergunduk-gunduk pusara tanpa figura kamboja, gerimis miris anyir darah, sabili menghujam jantung rindu tanpa sarung, dan tanpa algojo bertopeng kelinci,
hahaha...
Tertawakan saja semua derita, hati nelangsa tak berguna, jiwa merana bersandiwara,
Lihatlah puluhan burung bngkai menatap penuh cemas, saat engkau menitikan airmata, tanda hati yang mati tanpa nisan yang pasti.
Perih memipih belati hati, siul petaka bocah telanjang dada diareal pemakaman masal penuh tengkorak-tengkorak, desir angin dalam kebisuan, debu menari dalam dekapan, seekor keledai dahaga namun hanya berjalan tertatih perih tak berfikir.
Air mata cinta, basahi kembang tujuh rupa dan air mawar, tanah merah bergunduk-gunduk pusara tanpa figura kamboja, gerimis miris anyir darah, sabili menghujam jantung rindu tanpa sarung, dan tanpa algojo bertopeng kelinci,
hahaha...
Tertawakan saja semua derita, hati nelangsa tak berguna, jiwa merana bersandiwara,
Lihatlah puluhan burung bngkai menatap penuh cemas, saat engkau menitikan airmata, tanda hati yang mati tanpa nisan yang pasti.
Senja 7 maret
Seperti dedaunan yg terhempas dimusim gugur, aku terbang mengikuti arah dan interval sang bayu, kala senja tinggal sepenggal, aku meniti jejak-jejak waktu yang angkuh enggan menunggu.
Aku terdiam dibali bebatuan terjal karang, buih-buih ombak membelai pantai, dan camar genit bernyanyi mengiringi kepergian hati, syairmu peraduan antara samudera dan gelombaknya, jiwaku kerumunan ikan salmon yg menanti ajal ditangan-tangan beruang.
Dekaplah aku dalam keremangan senja ini, dekaplah seperti lembayung memeluk jingga yg bermahkota, dan jika mentari undur diri, selimuti aku dengan tirai malammu yang diperelok oleh bulan sabit yg genit menggigit,
Kenanglah.... wahay jingga, kenanglah separuh kisah yang basah oleh airmata, dan jika semua telah kau rekam, putarlah dengan proyektor hati agar kerinduan jiwamu akan ragaku terobati.
Aku terdiam dibali bebatuan terjal karang, buih-buih ombak membelai pantai, dan camar genit bernyanyi mengiringi kepergian hati, syairmu peraduan antara samudera dan gelombaknya, jiwaku kerumunan ikan salmon yg menanti ajal ditangan-tangan beruang.
Dekaplah aku dalam keremangan senja ini, dekaplah seperti lembayung memeluk jingga yg bermahkota, dan jika mentari undur diri, selimuti aku dengan tirai malammu yang diperelok oleh bulan sabit yg genit menggigit,
Kenanglah.... wahay jingga, kenanglah separuh kisah yang basah oleh airmata, dan jika semua telah kau rekam, putarlah dengan proyektor hati agar kerinduan jiwamu akan ragaku terobati.
Langganan:
Postingan (Atom)